problematika pendidikan

Masalah pendidikan di Indonesia lebih banyak pada persoalan implementasi kebijakan. Regulasi yang dibuat di tingkat kementerian terganjal saat implementasi, karena adanya otonomi pendidikan di daerah.

Demikian dikatakan Anggota Komisi X DPR RI Nuroji saat rapat dengar pendapat umum Panja Evaluasi Dikdasmen Komisi X dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 5 Juli 2017.

“Banyak kebijakan yang sudah bagus tetapi ditingkat daerah tidak dilaksanakan. Misalkan pemahaman daerah terhadap SNP, kemudian juga tentang tindak lanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah daerah, serta soal kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat,” ucap Nuroji.

Dia mempertanyakan alat ukur yang dimiliki Kementrian untuk menilai kinerja para kepala daerah dalam hal pembangunan pendidikan. Adapun akreditasi dinilainya tidak cukup untuk menjadi alat ukur pendidikan di daerah.

“Saya pikir hal itu tidak cukup, kalau cuma akreditasi. Untuk menjaga agar tidak terjadi ketimpangan yang terlalu tinggi antar daerah karena masing-masing punya kemampuan dan kemauan yang berbeda pada setiap kepala daerah, maka perlu ada kebijakan yang lebih ekstrim yang mengatur mekanisme dari pemerintah pusat ke daerah, yakni kepada para kepala daerah, untuk memberikan sanksi dan reward bagi pembangunan pendidikan ini,” ujarnya.

Ia meyakini bahwa banyak daerah yang punya perhatian cukup besar, tetapi banyak juga daerah yang kepala daerahnya tidak paham terhadap pendidikan.

“Maka kalau kita lihat pengukuran dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) ini, rata-rata ada di masalah sarpras yang sangat rendah, yang berkaitan dengan tanggung jawab  penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dan kemauan. Banyak daerah yang punya uang banyak tetapi tidak mau perhatian pada pendidikan, namun banyak juga daerah yang tidak punya uang. Ini mungkin salah satu kelemahan otonomi pendidikan kita,” ucapnya.***

Komentar